BincangSyariah.Com– Belakangan Dirjen Pajak dan Kementerian Keuangan secara umum, tengah mendapat sorotan tajam dari nitizen. Sebab gaya hidup mewah dan pamer harta dari pejabat dan keluarga. Lebih lagi, ada sinyalir korupsi dalamnya. Sehingga muncul tagar untuk tidak bayar pajak di media sosial. Lantas bagaimana hukum membayar pajak dalam Islam?
Pajak merupakan sumbangan rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang. Pajak yang berlaku di Indonesia meliputi berbagai jenis pajak, dan beberapa nilainya cukup tinggi.
Namun ternyata masih banyak oknum yang menggelapkan dan menyelewengkan dana pajak untuk kepentingan pribadi, alokasi dana pajak juga tidak begitu akurat untuk kemaslahatan bangsa dan masyarakat. Tentunya ini menciderai publik untuk membayar pajak, sebab sudah susah-susah membayar pajak, ternyata malah tidak dialokasikan sebagaimana mestinya dan bahkan digelapkan.
Isu pajak sudah santer dibicarakan sejaka tahun 2010-an, dan ternyata kini bergulir lagi dengan adanya fenomena pengeroyokan oleh salah satu anak pejabat pajak. Disinyalir kekayaannya juga tidak wajar, sebab eselon 3 namun hartanya menjapai 50 M. Pajak menjadi simalakama, bahkan NU telah menuntut pengawasan pajak.
Hukum Membayar Pajak Perspektif Putusan Munas NU 2012
Munas Alim Ulama NU pada tahun 2012 di PP Kempek Palimanan Cirebon, mengangkat isu yang viral di waktu itu. Yaitu penggelapan dana pajak yang dilakukan oleh Gayus Tambunan, para kyai mengkaji terkait urgensi pajak dan seluk beluknya.
Sebagaimana yang telah jamak diketahui, bahwa rakyat wajib kepada pemerintahnya. Dan salah satu wujud dari kewajiban taat kepada ulil amri adalah kewajiban rakyat untuk membayar pajak (dlaribah) kepada pemerintah. Harta pajak yang dikumpulkan merupakan milik rakyat yang diamanatkan kepada pemerintah.
Sebagai pemegang amanah, pemerintah wajib mengelola pajak secara profesional, transparan dan akuntabel serta menggunakannya untuk sebesar-besarnya kemaslahatan rakyat.
Allah Swt berfirman dalam QS Al-Nisa’ ayat 59;
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ
“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Berangkat dari referensi klasik dan undang-undang, forum memutuskan bahwa pada dasarnya tidak ada kewajiban pembayaran pajak di dalam syari’at Islam. Namun, pembayaran pajak boleh diberlakukan bagi rakyat yang mampu untuk kemaslahatan rakyat apabila sumber-sumber dana non pajak yang telah dikelola dengan benar tidak mencukupi untuk kebutuhan negara.
Adapun pembayaran pajak yang dikenakan kepada rakyat miskin adalah haram. Sedangkan pengenaan pajak yang telah dilakukan secara berlebihan dan memberatkan rakyat, wajib dikurangi jenis-jenisnya, dan diturunkan besaran nilainya.
Apabila pemerintah telah mewajibkan pembayaran pajak secara benar, tetapi dana pajak banyak digelapkan dan diselewengkan, maka hukum pembayaran pajak tetap wajib. Sedangkan penyelewengan dana pajak wajib segera diberantas dan pelakunya ditindak tegas.
Pandangam Al-Habib Abdur Rahman Ba’alawy menjadi salah satu rujukan dalam rumusan ini, yang mana beliau menyatakan;
(مسألة : ك) : عين السلطان على بعض الرعية شيئاً كل سنة من نحو دراهم يصرفها في المصالح إن أدّوه عن طيب نفس لا خوفاً وحياء من السلطان أو غيره جاز أخذه ، وإلا فهو من أكل أموال الناس بالباطل ، لا يحل له التصرف فيه بوجه من الوجوه ، وإرادة صرفه في المصالح لا تصيره حلالاً.
“Ketika pemerintah mematok sejumlah uang pada sebagian rakyat di setiap tahunnya, yang mana mereka alokasikan untuk measlahatan publik, maka jika rakyat memberikannya dengan sukarela tanpa adanya rasa takut atau malu pada pemerintah, maka boleh diambil.
Jika rakyat terpaksa, maka ini dianggap kedzaliman, sehingga tidak halal untuk mempergunakannya. Bahkan meskipun diperuntukkan kemaslahatan publik, ini tetap tidak boleh”. (Bughyat Al-Mustarsyidin, Juz 1 H. 326)
Memandang masih kurangnya pengawasan keuangan pajak, Keputusan Munas ini merekomendasikan kepada Pemerintah harus segera mengurangi di antara berbagai jenis wajib pajak, menurunkan tinginya nilai pembayaran yang memberatkan rakyat dan Jika pemerintah tidak sungguh-sungguh memberantas penggelapan dan penyelewengan dana pajak, maka kewajiban pembayaran pajak oleh pemerintah wajib ditinjau ulang.
Demikian tegasnya para Ulama’ dan kyai, dalam pandangan beliau-beliau menarik uang itu harus mendatangkan manfaat, bukan malah mafsadat. Sehingga kewajiban membayar pajak bisa ditinjau ulang, ketika dana diselewengkan terus menerus. 10 Tahun kemudian sudah berbeda faktanya, meski masih diselewengkan dananya, namun pembangunan itu ada.
Melalui tangan dingin Bu Sri Mulyani, Kementrian Keuangan bertransformasi menjadi lembaga yang menyalurkan maslahat, namun tetap saja harus berbenah sampai akar-akarnya. Maka rakyat tetap wajib membayar zakat sebagai bentuk taat pada pemerintah, namun bagi pejabat yang menyelewengkan harus dikenai sanksi yang seberat-beratnya.
Benahi sistem, perketat aturan, sanksi yang salah, kerja nyata, insyaallah publik akan percaya lagi dan bahkan siap mendukung untuk memakmurkan bangsa Indonesia. Keterangan ini disarikan dari Putusan Munas NU Tahun 2012 di PP Kempek, Palimanan Cirebon, Jawa Barat.
Demikian penjelasan terkait hukum membayar pajak perspektif Putusan Munas NU 2012. Semoga bermanfaat. [Baca juga: ]
Terkait
Desain Rumah Kabin
Rumah Kabin Kontena
Harga Rumah Kabin
Kos Rumah Kontena
Rumah Kabin 2 Tingkat
Rumah Kabin Panas
Rumah Kabin Murah
Sewa Rumah Kabin
Heavy Duty Cabin
Light Duty Cabin
Source link