Pelaburan

Prinsip Kemanusiaan Universal dalam Syariah

Prinsip Kemanusiaan Universal dalam Syariah

rumahkabin black

Prinsip Kemanusiaan Universal dalam Syariah
Prinsip Kemanusiaan Universal dalam Syariah

BincangSyariah.Com– Berikut ini akan menjelaskan tentang prinsip kemanusiaan universal dalam syariah. Pertanyaan yang selalu muncul terkait dengan isu ini, adalah bagaimana apabila pertimbangan hukum atas dasar kemaslahatan tersebut bertentangan dengan bunyi literal teks suci, baik Al-Qur’an maupun hadits dan dengan ijma’ ulama (consensus). Apakah manusia (masyarakat) mengikuti agama atau agama  mengikuti manusia?.

Mengenai hal ini menarik sekali untuk dikemukakan pandangan Dr. Musthafa Syalabi dalam bukunya “Ta’lil al-Ahkam” mengatakan:

Thumbnail Mubadalah

انها (المصلحة)  إِذَا تَعَارَضَتْ مَعَ النَّصِّ فِى اَبْوَابِ الْمُعَامَلاَتِ وَالْعَادَاتِ الَّتِى تَتَغَيَّرُ مَصَالِحُهَا اُخِذَ بِهَا وَلَيْسَ هَذَا إِهْدَاراً لِلنَّصِّ بِمُجَرَّدِ الرَّأْىِ , بَلْ هُوَ عَمَلٌ بِالنُّصُوصِ الْكَثِيرةِ الدَّالَّةِ عَلى اعْتِبَارِهَا. وَاَمَّا إِذَا كَانَتْ الْمَصْلَحَةُ الْمُسْتَفَادَة مِنَ النَّصِّ لَا تَتَغَيَّرُ فَلَا يُتْرَكُ النَّصُّ اَصْلاً

“Apabila kemaslahatan bertentangan dengan “nash”(teks), dalam bidang mu’amalat dan adat-kebiasaan (tradisi) yang kemaslahatannya telah berubah, maka kemaslahatanlah yang harus dipertimbangkan, dan hal ini tidaklah dapat dikatakan sebagai menentang “nash” melalui semata-mata pendapat nalar atau akal. 

Sebaliknya ia justeru mengaplikasikan “nash-nash” yang sangat banyak yang menunjukkan keharusan menjaga kemaslahatan tersebut. Akan tetapi apabila kemaslahatan dalam “nash” tidak berubah, maka nash sama sekali tidak boleh diabaikan.”

Syalabi selanjutnya mengatakan:

وَمَنْ اَمْعَنَ النَّظْرَ فِى هذا التَّعَارُض وَجَدَ صُورِيًّا فقط, لِاَنَّ النَّصَّ وَرَدَ لِمَصْلَحَةٍ خَاصَّةٍ, وَلَمَّا انْتَهَتْ انْتَهَى عَمَلُه, اَوْ جَاءَ مُعَلَّلًا بِعِلَّةٍ خَاصَّةٍ, فَلَمَّا زَالَتْ هَذِه الْعِلَّةُ انْتَهَى الْعَمَلُ بِه. وَهَذَا فَهْمُ الصَّحَابَةِ وَمَنْ بَعْدَهُم

Siapapun yang merenungkan secara mendalam tentang adanya kontradiksi tersebut, hal itu sebenarnya hanyalah dalam bentuk lahiriyahnya saja. Hal ini karena nash sesungguhnya diturunkan Tuhan (dibuat) dalam rangka menegakkan kemaslahatan tertentu. 

Manakala kemaslahatan tersebut telah hilang, maka ia tidak relevan lagi untuk diimplementasikan. Demikian pula apabila nash disertai dengan “illat” (logika kausalitas). Manakala illat tersebut hilang, maka hukum tersebut juga selesai. Ini adalah pemahaman para sahabat dan generasi sesudahnya.”

Khalifah Umar bin Khattab adalah tokoh besar yang banyak sekali mendasarkan keputusannya berdasarkan prinsip kemaslahatan ini. Beberapa di antaranya adalah pembatalan hukuman potong tangan ketika masyarakat menghadapi situasi krisis pangan. Banyak rakyat yang kelaparan.

Ia juga tidak membagikan tanah rampasan perang kepada para tentera, tetapi menyerahkannya kepada Negara untuk kepentingan yang lebih luas. Padahal, Nabi membagikannya kepada para prajurit. Lalu talak tiga yang diucapkan suami kepada isterinya menjadi jatuh tiga.

Keputusan-keputusan Umar ini berbeda dari keputusan Nabi. Apakah dengan begitu Umar menentang Nabi? Jawabannya tentu tidak. Tindakan Umar tidaklah berarti bahwa dia menentang Nabi. Umar justeru menegakkan maksud dan visi al-Qur’an, sebagaimana juga Nabi.

Ia memahami bahwa hukum yang diputuskan Nabi adalah relevan dengan kemaslahatan sosialnya. Akan tetapi akibat perkembangan sosial pada masanya, keputusan Nabi tersebut tidak lagi sesuai dengan kemaslahatan sosialnya.

Tentang talak tiga yang jatuh tiga, Ibnu al-Qayyim menginformasikan argumen Umar dengan mengatakan:

كَانَ الطَّلَاقُ الثَّلَاثُ فِى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَفِى عَهْدَ اَبِى بَكْرٍ وَسَنَتَيْنِ مِنْ خِلَافَةِ عُمَر بن الخطاب يَقَعُ وَاحِداً. لَكِنَّ النّاسَ قَدِ اسْتَعْجَلُوا فِى أَمْرٍ كَانَتْ لَهُمْ فِيهِ أَنَاةٌ, فَلَوْ اَمْضَيْنَاهُ عَلَيْهِم. رواه مسلم

“Talak (cerai) tiga pada masa Nabi saw, dan pada masa pemerintahan Abu Bakr serta dua tahun masa Umar jatuh satu. Akan tetapi masyarakat kemudian menuntut kesegeraan pada masalah yang seharusnya dilakukan bertahap. Mereka berharap kami memenuhinya. Maka aku putuskan sesuai dengan kehendak mereka.”

Membaca fiqih para ulama pendiri mazhab maupun para pengikutnya, tampak jelas bahwa pandangan mereka hampir selalu berbeda-beda dan beragam, meskipun mendasarkan diri pada sumber hukum yang sama.  Beberapa contoh kasus, misalnya wali nikah perempuan, saksi nikah, usia dewasa, talak tiga dan sebagainya.

Keputusan mereka sangat dipengaruhi oleh ruang dan waktu mereka yang berbeda dan dinamis. Pandangan-pandangan fiqh Islam tidak lain kecuali merupakan refleksi dari perkembangan kehidupan sosial dalam masyarakat Islam. Pandangan-pandangan fiqh itu berubah, berkembang dan berganti-ganti sejalan dengan situasi zaman dan konteks sosialnya masing-masing.

Prinsip Kemanusiaan Universal dalam Syariah

Lebih jauh dari sekedar keharusan terjadinya perubahan hukum karena perubahan ruang, waktu dan perkembangan sosial, perumusan hukum juga meniscayakan prinsip-prinsip yang lebih mendasar. Yaitu prinsip-prinsip kemanusiaan Universal. Para ulama menyebutnya sebagai Al-Kulliyyat al-Khams (lima prinsip universal) atau al-Dharuriyyat al-Khams (lima prinsip niscaya) dan Maqashid al-Syariah (tujuan syari’at agama).

Prinsip- prinsip ini telah dirumuskan oleh antara lain Imam al-Ghazali dalam “Al-Mustashfa Min Ilm al-Ushul”, dan diuraikan lebih luas oleh Imam Al-Syathibi dalam bukunya “Al-Muwafaqat fi Ushul a-Syari’ah”. Yakni: Hifzh al-Din (perlindungan terhadap agama atau keyakinan, Hifzh al-Nafs (perlindungan terhadap hak hidup, Hifzh al-Aql (perlindungan terhadap hak berpikir dan mengekspresikannya, Hifzh al-Nasl (perlindungan terhadap hak-hak reproduksi dan Hifzh al-Mal (perlindungan terhadap hak-hak milik atau property.

Belakangan ini, sejalan dengan realitas baru yang terus berkembang, banyak pemikir muslim yang menambahkan dua prinsip lagi. Yaitu Hifzh al-Irdh (perlindungan atas kehormatan) dan Hifzh al-Bi’ah (konservasi lingkungan alam). Lima (atau tujuh) prinsip di atas dinyatakan oleh Imam Abu Ishaq al-Syathibi sebagai konsensus agama-agama (Ittifaq al-Milal). Sementara itu, Dr. Abdullah Darraz mengatakan:

اَمَّا حِفْظُ شَيئٍ مَنَ الضَّرُورِيَّاتِ الْخَمْسَةِ : الدِّينِ وَالنَّفْسِ وَالْعَقْلِ وَالنَّسْلِ وَالْمَالِ, الَّتِى هِى أُسُسُ اْلعُمْرَانِ الْمَرْعِيَّة فِى كُلِّ مِلَّةٍ وَالَّتِى لَوْلاَهَا لَمْ تَجْرِ مَصَالِحُ الدُّنْياَ عَلىَ اسْتِقَامَةٍ وَلَفَاتَتِ النَّجَاةُ فِى اْلاَخِرَةِ

Lima prinsip di atas merupakan dasar-dasar pembangunan/kemajuan masyarakat dalam semua agama. Tanpa lima dasar ini kehidupan bersama manusia tidak akan stabil dan kebahagiaan di akhirat tak akan dicapai.”

Sekurang-kurangnya, pandangan ini pada gilirannya membawa serta konsekuensi dan keharusan bahwa kita semua dituntut berjuang dan bekerja secara terus menerus tanpa lelah.

Pun, untuk menghormati kesucian martabat orang lain, menegakkan keadilan, menaklukkan kecenderungan egoisme dan arogansi yang ada dalam diri kita sambil meletakkan orang lain di dalam hati kita. Bahkan, memandang setiap manusia tanpa kecuali, sebagai ciptaan Tuhan yang setara dan mulia.

Semua tindakan dan sikap yang baik di atas betapapun beratnya, sesungguhnya tidaklah akan sia-sia dan tidak akan hilang ditelan embusan angin kemarau, melainkan akan selalu berguna bukan hanya bagi dirinya sendiri. Berguna juga bagi orang lain dan alam semesta. Tuhan tak pernah mengabaikan kerja-kerja manusia sekecil apapun.

Syahdan, Ibnu Asyur, pemikir Islam kontemporer dan penulis Tafsir Al-Tahrir wa al-Tanwirmengemukakan pandangannya yang menurut penulis sangat menarik. Beliau mengatakan:

شريعة الاسلام جآءت لما فيه صلاح البشر فى العاجل والآجل أى فى حاضر الامور وعواقبها وليس المراد بالآجل أمور الآخرة . لان الشرائع لا تحدد للناس سيرهم فى الآخرة ولكن جعلها الله جزآء على الاحوال التى كانوا عليها فى الدنيا. لما كانت شريعة الاسلام ضابطة للسلوك الدنيوى فان المصلحة التى جاءت لتحقيقها لا يمكن ان تكون الا دنيوية , تهدف فى المقام الاول الى ضبط العالم الدنيوى

“Syari’ah Islam dihadirkan untuk kemaslahatan manusia di dunia sekarang dan nanti. Yang dimaksud dengan nanti bukanlah kehidupan di akhirat. Karena semua syariat tidak mengatur urusan kehidupan manusia di akhirat, akan tetapi Allah menjadikan akhirat sebagai tempat dan saat pertanggungjawaban manusia atas perbuatan dan tingkah lakunya selama di dunia. 

Manakala syari’at Islam merupakan aturan manusia di dunia, maka kemaslahatan yang harus diwujudkan tidak mungkin kecuali di dalam dunia ini. Ia diarahkan, dalam posisi utama, untuk pengaturan manusia di alam dunia.”

Rumusan tersebut sepertinya berbeda dengan pandangan mayoritas ulama. Pada umumnya para ulama menyatakan bahwa syariat dimaksudkan untuk kebaikan dan kesejahteraan manusia di dunia dan akhirat (fi al-ma’asy wa al-ma’ad atau fi al-dunia wa al-akhirah). Akhirat dimaksudkan sebagai suatu kehidupan sesudah kematian manusia.

Jika dilihat secara cermat, tampaknya, Ibnu Asyur sengaja mengemukakan hal itu dalam rangka menegaskan tentang perlunya kaum muslimin memberikan apresiasi lebih besar terhadap persoalan-persoalan sosial dan publik, kebangsaan dan kemanusiaan daripada urusan-urusan individual.

Ibnu Asyur merasakan bahwa selama kurun waktu yang panjang, perhatian kaum muslimin terhadap urusan syariah individual begitu dominan. Sementara mereka kurang responsif terhadap urusan-urusan sosial, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi serta hal-hal publik lainnya.

Begitu juga dengan Jamal al-Banna dalam bukunya “Nahwa Fiqh Jadid” menyebutkan: tulisan-tulisan para ulama fiqh tentang ibadah personal jauh lebih banyak dari pada tentang al-mu’amalat. Katanya:

تضخم الفقه العبادى تضخما غطى على بقية مجالات وموضوعات الفقه الاسلامى الذى يضم الشريعة وما فيها من نظم سياسية واقتصادية واجتماعية

“Fiqh ibadah berkembang begitu besar. Ia mendominasi bidang-bidang dan kajian-kajian fiqh Islam, di mana syari’at meliputi aturan-aturan tentang politik, ekonomi dan sosial.”

Jika pandangan ini diikuti,, maka mungkin akan menimbulkan implikasi penting terutama dalam kaitannya dengan bidang-bidang kehidupan sosial kemasyarakatan dan kebudayaan muslim. 

Demikian penjelasan terkait Prinsip Kemanusiaan Universal dalam syariah. Semoga keterangan terkait prinsip kemanusiaan universal dalam syariah bermanfaat. [Baca juga:Sologami dalam Pandangan Syariah ]

 

rumahkabin black
Desain Rumah Kabin
Rumah Kabin Kontena
Harga Rumah Kabin
Kos Rumah Kontena
Rumah Kabin 2 Tingkat
Rumah Kabin Panas
Rumah Kabin Murah
Sewa Rumah Kabin
Heavy Duty Cabin
Light Duty Cabin


Source link