Bagi kalangan pesantren sudah jamak diketahui bahwa salah satu sistem pendidikan di Pesantren adalah bandongan. Bandongan adalah sistem pengajian yang berpusat pada seorang guru. Yaitu, guru membacakan sebuah kitab, mengartikan atau menerjemahkannya ke dalam bahasa lokal seperti Jawa, Sunda, Madura, atau melayu, lalu menjabarkannya dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Pengajian bandongan di pesantren biasanya dilakukan oleh seorang Kyai atau pengasuh pesantren atau juga oleh ustadz senior yang biasanya mendapatkan mandat dari pengasuh. Kyai membaca kitab dalam waktu-waktu tertentu, seperti setelah salat jamaah seperti Duhur dan Asar. Sedangkan mengaji kepada ustadz lebih fleksibel. Santri bisa memilih sesuai dengan waktu luang para santri. Biasanya, jadwal pengajian kitab yang dibacakan oleh Ustaz waktunya tidak berbarengan dengan jadwal pengajian Kyai.
Pada sekitar tahun 1984 hingga tahun 1990-an saya nyantri di Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin. Salah satu kelebihan nyantri di Babakan Ciwaringin adalah saya bisa mengaji kepada banyak Kyai. Sebab, di desa Babakan terdapat puluhan pesantren. Bahkan kini tercatat sebanyak 57 Pesantren di desa ujung bagian barat kabupaten Cirebon ini. Kondisi tersebut saya manfaatkan untuk belajar mengaji kepada banyak Kyai. Di antaranya adalah Kyai Asymawi, Kyai Muntab, Kyai Amin, Kyai Fuad, Kyai Masduki, Kyai Muhammad, Kyai Muchtar, dan sejumlah Kyai lainnya.
Salah satu yang paling saya kenang adalah saat mengikuti pengajian kitab Tafsir Jalalain yang dibacakan oleh al-Magfurlah KH. Syaerozi selaku pengasuh Pondok Pesantren As-Salafie Babakan Ciwaringin. Saat itu saya tidak begitu memperhatikan siapa dan bagaimana biografi penulis kitab tafsir tersebut. Belakangan, saat saya menempuh pendidikan strata satu (S1) di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada jurusan Tafsir Hadis saya baru mengetahui biografi penulis dalam kitab al-Tafsir wa al-Mufassirun karya ulama Mesir, Syekh Muhammad Husain al-Dzahabi.
Selain kepada para Kyai Babakan, saya juga mengikuti pengajian yang dibacakan oleh ustadz-ustadz di pesantren. Di antaranya adalah almarhum Ustadz Thohari. Beliau ahli dalam bidang ilmu alat dan memiliki kecakapan dalam membaca kitab-kitab fiqih.
Ilmu Alat di Pesantren
Ilmu alat merupakan sebuah istilah dalam lingkungan pesantren bagi ilmu Nahwu (gramatikal Arab) dan Shorof (morfologi). Saya tidak tahu persis siapa dan kapan kedua ilmu ini dijuluki sebagai ilmu alat. Yang pasti bahwa kedua ilmu ini merupakan kunci dasar bagi seorang santri untuk dapat menyelami literatur dan kekayaan kitab kuning dalam berbagai disiplin ilmu. Sebab, tanpa pengetahuan yang cukup atas kedua ilmu tersebut mustahil bagi seorang santri untuk dapat membaca kitab kuning. Mungkin karena itulah kedua ilmu tersebut dikenal dengan sebutan ilmu alat. Ilmu Nahwu sering disebut sebagai “abul ilmi” alias ayah bagi ilmu. Sedangkan ilmu Shorof adalah ibunya (ummul ilmi).
Di pesantren, kedua ilmu ini dipelajari secara gradual alias runtut. Sesuai dengan jenjangnya masing-masing. Ilmu Nahwu biasanya dipelajari mulai dari kitab Al-Jurumiyyah. Sebuah kitab dasar ilmu Nahwu yang ditulis oleh Abu Abdillah Sidi Muhammad bin Daud Ash-Shanhaji alias Ibnu Ajurrum (w. 1324 M). Dalam kitab ini, para santri akan mempelajari dasar-dasar ilmu Nahwu seperti apa itu “kalimat”, macam-macam kalimat, serta kedudukan-kedudukan kalimat dalam bahasa Arab.
Setelah mengkhatamkan kitab al-Jurumiyyah, para santri akan diberikan materi lanjutan seperti misalnya Nazam al-Imrithi. Sebuah karya Nahwu berbentuk puisi (nazam) yang berjumlah 254 bait. Nazam yang berisi pengembangan dari kitab al-Jurumiyyah ini disusun oleh Syaikh Syarafuddin Yahya al-Imrithi (w 890 H/1485 M). Jenjang berikutnya adalah mempelajari kitab-kitab seperti Mutammimah hingga yang paling tinggi seperti Nazam Alfiyyah ibn Malik. Sebuah nazam seribu dua bait yang ditulis oleh Imam Ibnu Malik asal Andalusia Spanyol (w. 1274 M).
Sementara pembelajaran ilmu Shorof biasanya dimulai dengan mengaji kitab al-Amsilah al-Tashrifiyyah, karya Kiai Maksum bin Ali asal Jombang. Melalui kitab ini para santri diharapkan dapat mengetahui asal usul sebuah kata. Kemudian para santri biasanya diberikan kitab lanjutan seperti Nazam al-Maqsud, Kailani, dan lain sebagainya.
Menekuni Disiplin Ilmu Lain
Berbekal pengetahuan ilmu alat yang cukup, para santri dapat dengan mudah mengakses khazanah keilmuan Islam dari berbagai disiplin seperti fikih, tasawuf, hadis, dan lain sebagainya. Kendati demikian, bukan berarti setiap santri yang sudah “ngelotok” ilmu alatnya dipastikan bisa membaca teks-teks dari disiplin ilmu lainnya. Sebab, dalam disiplin ilmu lain, terdapat nomenklatur-nomenklatur yang tidak mudah dipahami tanpa panduan dari seorang guru.
Untuk menekuni disiplin ilmu lain tidak hanya bermodalkan ilmu alat saja. Ilmu alat memang bagian dari syarat seorang santri dapat menjelajahi kitab-kitab lintas disiplin keilmuan. Untuk itu, santri yang ingin menekuni ilmu lain di antaranya bisa mengikuti pengajian-pengajian yang dibacakan oleh Kyai pengasuh pesantren atau ustadz-ustadz senior di pesantren. Dengan melalui cara mengaji kepada guru, silsilah keilmuan seorang santri terhubung dengan para muallif kitab-kitab yang dipelajarinya.
Desain Rumah Kabin
Rumah Kabin Kontena
Harga Rumah Kabin
Kos Rumah Kontena
Rumah Kabin 2 Tingkat
Rumah Kabin Panas
Rumah Kabin Murah
Sewa Rumah Kabin
Heavy Duty Cabin
Light Duty Cabin
Source link